PDA Test Terbaik Samarinda | PDA Test Termurah Samarinda
| Harga PDA Test Samarinda
PDA Test Samarinda
merupakan pengujian pondasi tiang pancang dan bore pile yang dilakukan dengan
menggunakan uji gema sonic dan uji strain integritas rendah. Pengujian ini
menggunakan sensor accelerometer di atasnya sehingga mempermudah pembacaan
gelombang ketika diberika pukulan dengan hammer.
Langkah Pengerjaan :
Harga PDA Test
Terbaik Di Samarinda
Untuk harga PDA Test tiang
pancang dan bored pile umumnya pengetesan ini dilakukan sebanyak 1 %
dari jumlah semua titik pemancangan pondasi. Setidaknya ada 5 faktor yang
menyebabkan perbedaan harga, perbedaan harga tsb :
1. Biaya berdasarkan per titik pile.
3,500,000s/d 4.000.000
2. Biaya analisis.Rp. 1.800.000
3. Biaya Mob/Demob alat (biayanya
berbeda beda tergantung lokasi / wilayah).
4. Biaya pekerja Engenering
Rp.2.000.000 s/d 5.000.000
5. Report atau laporan. 2.500.000
INFOR MASI KEGIATAN
Pada tgl 3 Maret 2023 kami sedang melakukan pengetesan Pda Test di
Samarinda tepatnya di Jalan MT Haryono No.187 Damai Samarinda Kota RT.26, Damai, Kec. Samarinda
Kota, Kota Samarinda, Kalimantan Timur 76114 dengan mengunakan Drop hamer 3 Ton hasil yang di dapat
daya dukung 120 ton dengan menggunanakan alat PDA test merek RSI untuk tiang
Bor pile 30 cm dalam 6 m .
Sejarah Kota Samarinda dari perkampungan kuno hingga menjadi sebuah kota secara administratif dipengaruhi oleh sistem politik pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara (1300–1844), Kerajaan Banjar (1546–1700), Pemerintah Hindia Belanda (1844–1942 dan 1945–1949), Pemerintah Militer Jepang (1942–1945), dan Pemerintah Republik Indonesia (1950–sekarang).[1]
Sebelum dikenalnya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.[2]
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14—15 M).[3]
Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah Suku Kutai Kuno yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).[4]
Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201–1300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.[5]
Urang Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan Malaysia dan Brunei merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Kalimantan dengan ibu kota Banjarmasin.
Urang Banjar adalah masyarakat asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) urang Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya urang Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.[6]
Awal pemukiman urang Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.[7]
Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.[8]
Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas bermacam-macam versi.
Versi ke-1 dari tim penyusun sejarah Samarinda yang mengadakan seminar pada 21 Agustus 1987 memutuskan, telah terjadi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara pada 21 Januari 1668. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Latar belakang perantauan orang-orang dari tanah Kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) itu karena menolak Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah dalam perang melawan pasukan Belanda.[9]
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.[9]
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat kepemimpinan Wali kota Samarinda Drs. H. Abdul Waris Husain dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah".[9]
Raja Kutai saat itu, Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura mengabulkan permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.[9]
Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (sekarang daerah pesisir Selili). Tetapi daerah ini terdapat kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang arusnya berputar (berulak) dan banyak kotoran sungai. Selain itu terlindung oleh ketinggian Gunung Selili. Dengan kondisi seperti itu, Raja Kutai memerintahkan La Mohang Daeng Mangkona bersama pengikutnya membuka perkampungan di tanah rendah bagian seberang Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh pengikutnya.[10]
Versi ke-2 menurut catatan Kesultanan Kutai Kartanegara, waktu kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda pertama kali terjadi pada tahun 1708, pada masa Raja Adji Pangeran Anum Panji Mendapa.[11]
Versi ke-3 menurut berita lisan atau cerita rakyat, rombongan Bugis Wajo merantau ke Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martadipura (1730–1732). Latar belakang hijrahnya La Mohang Daeng Mangkona ke Samarinda Seberang disebabkan kepadatan pemukiman para pendatang Bugis Wajo di Muara Sungai Kendilo, daerah Paser. Sebelumnya, mereka migrasi dari Wajo di bawah pimpinan La Maddukkelleng karena negeri kelahirannya dikuasai oleh Kerajaan Bone akibat serangan Bone setelah kasus penikaman seorang bangsawan Bone oleh La Maddukkelleng pada sebuah acara pesta sabung ayam.[9]
Versi ke-4 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke Jembayan pada tahun 1732–1782. Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah Anakoda Tujing, bukan La Mohang Daeng Mangkona.[12]
Mengenai nama La Mohang Daeng Mangkona yang diklaim sebagai pendiri Samarinda Seberang, hal ini kontroversi. Namanya tidak ditemukan dalam sumber arsip dan literatur kolonial. Namanya juga tidak tercatat dalam surat perjanjian antara Bugis dan Raja Kutai. Yang tercatat dalam perjanjian beraksara Arab-Melayu dan penelitian S.W. Tromp (1881) sebagai pemimpin Bugis adalah Anakhoda Latuji.[13] Adapun makam yang berpapan nama sebagai makam tokoh pendiri Samarinda, yakni La Mohang Daeng Mangkona, baru ditemukan oleh M. Thaha pada dekade 1990-an. Sebelumnya, tidak ada pemeliharaan dan pengenalan atas makam tersebut. Hal ini diinformasikan oleh Pemerintah Kota Samarinda, ketika menerbitkan buku profil 46 tokoh masyarakat penerima penghargaan dalam rangka HUT Pemkot Samarinda ke-47 tahun 2007.[14]
Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.
Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.[15]
Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.[16]
Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera.[17]
Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari bahasa Melayu dari kata “samar” dan “indah”.
Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut Samarinda dengan lafal “Samarenda” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata “beta”) walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.[18]
TAG
Jasa sondir termurah , jasa sondir terdekat , jasa sondir samarinda
, sondir tanah terdekat samarinda , harga sondir tanah samarinda , harga jasa
sondir terdekat samarinda , sondir tanah samarinda , jasa sondir tanah samarinda
, jasa pda test samarinda , pda test murah samarinda , harga pda test samarinda
, pda test terdekat samarinda ,