PDA Test Terbaik Padang
| PDA Test Termurah Padang | Harga PDA Test padang
PDA Test Padang
merupakan pengujian pondasi tiang pancang dan bore pile yang dilakukan dengan
menggunakan uji gema sonic dan uji strain integritas rendah. Pengujian ini
menggunakan sensor accelerometer di atasnya sehingga mempermudah pembacaan
gelombang ketika diberika pukulan dengan hammer.
Langkah Pengerjaan :
Sebelum melakukan
pengujian permukaan pondasi bore pile dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
Hal ini untuk menghilangkan sisa-sisa material bekas cor yang menempel pada
permukaan yang mungkin saja akan mengganggu saat proses pengujian.
Data berupa tanggal
pengeboran tanah dan tanggal pengecoran pondasi harus diberikan pada petugas
penguji agar dapat memperhitungkan beban yang akan diberikan pada pondasi
tersebut.
Setelah permukaan
pondasi sudah halus dan rata, sensor dapat dipasangkan pada permukaan dan
kemudian diberikan beban antara 1,5 kg – 12 kg mulai yang paling besar agar
mengetahui pantulan gelombang pada ujung tiang bawah.
Harga PDA Test Terbaik
Di Padang
Untuk harga PDA Test
tiang pancang dan bored pile umumnya pengetesan ini dilakukan sebanyak 1 % dari
jumlah semua titik pemancangan pondasi. Setidaknya ada 5 faktor yang
menyebabkan perbedaan harga, perbedaan harga tsb :
1.
Biaya berdasarkan per titik pile. 3,500,000s/d 4.000.000
2.
Biaya analisis.Rp. 1.800.000
3.
Biaya Mob/Demob alat (biayanya berbeda beda tergantung lokasi / wilayah).
4.
Biaya pekerja Engenering Rp.2.000.000 s/d 5.000.000
5.
Report atau laporan. 2.500.000
INFOR MASI KEGIATAN
Pada tgl 14 Maret 2023
kami sedang melakukan pengetesan Pda Test di Padang tepatnya di Jalan Padang
RT.2, Damai, Kec. Padang dengan mengunakan Drop hamer 3 Ton hasil yang di dapat
daya dukung 120 ton dengan menggunanakan alat PDA test merek RSI untuk tiang
Bor pile 40 cm dalam 6 m .
Kapan awalnya sebuah kota, seperti Padang sebagai kawasan yang menjadi titik kumpul berbagai aktivitas kehidupan, yang menjadi kawasan tempat bertemunya berbagai etnis dengan latar budaya, bahasa, dan agamanya; pada umumnya banyak ditemukan melalui tulisan para ahli sejarah sejak berkuasanya VOC (1602-1799). Hal ini dimungkinkan karena memang Belanda yang memiliki arsip lengkap sejarah daerah jajahannya. Termasuk Kota Padang yang menjadi basis kekuatan dagang dan militer Belanda abad ke-18 dan 19.
Jika ingin mengetahui sejarah Kota Padang maka terlebih dulu harus mengenal sejarah Minangkabau. Yaitu kira-kira abad ke-15 pada zaman Kerajaan Minangkabau dengan rajanya Adityawarman, saat itu Padang adalah pemukiman nelayan. Dalam tambo Minangkabau Padang disebut sebagai daerah rantau. Orang yang pertama kali datang berasal Kubung XIII Solok oleh Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah Datar dan Limo Puluh Kota). Namun ketika mereka sampai telah ada juga penduduk asli yang tidak beberapa orang, yang mereka sebut dengan orang-orang Rupit dan Tirau. Berarti dalam perluasan wilayah Kerajaan Minangkabau ini sebelum sampai ke Padang sebelumnya telah ada kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Namun dalam abad yang sama, Kerajaan Aceh juga mulai mengembangkan wilayahnya terutama untuk perluasan daerah perniagaan.
Para pedagang Aceh secara bertahap berhasil menaklukan Tiku, Pariaman dan Inderapura. Padang menjadi daerah persinggahan sebelum bertolak ke Aceh. Padang sebelum abad ke-17 tidak begitu penting bagi Kerajaan Minangkabau yang hanya menganggap sebagai daerah rantau, bagi Kerajaan Aceh karena lebih terkonsentrasi di Pariaman dengan menempatkan seorang panglima yang diangkat oleh raja Aceh.
Rantau pesisir seperti Padang saat itu dianggap tidak begitu penting sebagai rute perdagangan Minangkabau yang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar yang berasal dari daerah-daerah sekitar Gunung Merapi. Daerah ini telah lebih dulu menjadi pusat pemukiman yaitu tempat beradanya Kerajaan Minangkabau. Diwaktu yang sama, Malaka sebagai daerah pelabuhan karena selatnya yang luas pada tahun 1511 sudah tidak aman lagi karena masuknya bangsa Protugis, disusul oleh Spanyol kemudian Inggeris dan Belanda yang ikut meramaikan Selat Malaka. Peristiwa peperangan dan pembajakan yang tiada hentinya menyebabkan arus perdagangan menjadi tidak aman bagi Kerajaan Aceh maupun Kerajaan Malaka sendiri.
Kawasan pesisir dipantai barat Sumatera kemudian menjadi pilihan terbaik dan teraman karena para bangsa asing itu belum mengetahui persis kalau masih adanya daerah disamping Malaka ini. Kerajaan Aceh sengaja mengabaikannya karena masih beranggapan bahwa Malaka adalah daerah prospektif, namun ketika tidak menguntungkan lagi maka harus mengambil pilihan kedua yaitu pesisir barat. Kerajaan Aceh yang berada di ujung Pulau Sumatera dari segi topografinya lebih diuntungkan untuk menjangkau pantai barat walaupun sebagian besarnya dikuasai oleh Kerajaan Mianangkabau.
Akibat pengalihan ini muara-muara disepanjang pantai barat tumbuh menjadi pelabuhan dagang. Pelabuhan Tiku, daerah Pariaman, dan Pelabuhan Indrapura lebih dulu berkembang karena dekat dengan sentral komoditi, yaitu lada dibagian utara dan emas di selatan. Pada awalnya pelabuhan itu berada dibawah pengawasan dan kekuasan raja muda yang diangkat Adityawarman di Pagaruyung. Namun karena pendekatan dagang orang Aceh itu sejalan dengan mensiarkan ajaran agama Islam, maka secara berangsur raja-raja muda itu mulai berpihak kepada Kerajaan Aceh dan melepaskan diri dari Kerajaan Pagaruyung. Pada masa Aceh ini Padang dibagi atas tiga daerah yaitu Padang, Pauh dan Kotatengah.
Dalam waktu yang hampir sama, ditahun 1616, Belanda dan Inggeris juga sudah mulai mendarat di muara-muara pelabuhan tersebut, kondisi ini mengharuskan Kerajaan Aceh untuk menempatkan wakilnya disemua pelabuhan akan tetapi di Padang tidak dengan penguasaan penuh. Walaupun Padang oleh Aceh dianggap tidak begitu penting, Aceh tidak ingin Belanda menguasainya. Belanda melihat peluang ini, kemudian berupaya untuk melakukan pendekatan terhadap penguasa Aceh setempat. Ketika Sultan Iskandar Muda di Aceh Wafat (1636), kekuatan dan kekuasan Aceh semakin lemah. Walaupu sudah semakin lemah, pada tahun 1669 orang Aceh pernah mengusir orang Belanda dari Kota Padang (Parada Harahap).
Pada tahun 1660 raja-raja muda yang semulanya menentang Pagaruyung kemudian berpihak ke Aceh, karena bujuk Belanda berhasil mengusir orang Aceh. Belanda segera bergerak cepat seperti mendirikan kantor dagang, menetapkan mata uang Belanda sebagai alat tukar, dan memindahkan wakil Belanda Groenewegen di Aceh ke Padang.
Walaupun Aceh bukan lagi ancaman bukan serta merta Belanda bisa berbuat sekehendaknya. Pengaruh dan kekuatan Pagaruyung masih dominan dan dianggap penghalang untuk meluaskan monopoli dagang Belanda. Ganti daerah ganti pula strategi Belanda. Untuk Kota Padang yang juga Minangkabau,
Belanda mencoba pendekatan dengan memberikan upeti kepada Kerajaan Pagaruyung. Agar tidak menimbulkan polemik yang dapat merugikan Belanda, maka di Padang, Orang Kaya Kecil (Menurut Rusli Aman, Orang Kaya Kecil dalam bahasa Minangnya adalah Urang Kayo Kaciak, adalah nama gelar pengganti terhadap jabatan panglima yang dipakai ketika Aceh masih berkuasa) ditunjuk menjadi penasehat kompeni, sambung lidah dengan penduduk setempat, dan penghubung dengan raja-raja muda. Orang Kaya Kecil juga berjasa dalam menjemput Belanda di Pulau Cingkuk agar menetap di Padang. Pada tanggal 18 Agustus 1667 berdasarkan beslit Kompei Orang Kaya Kecil diangkat sebagai penguasa Padang.
Belanda dan pasukan kompeninya walaupun telah mendapat persetujuan dagang dan disetujui pengangkatan Orang Kaya Kecil sebagai boneka Belanda, bukan jaminan akan selalu aman sejak saat itu. Justru gangguan semakin banyak dan sering. Loji[ Menurut Gusti Adnan, loji atau lege (prancis) berarti tempat tinggal, kantor atau gudang, pembangunannya mulai dirintis sejak thun 1606 dan selesai pada perempat terakhir abad ke-17. Loji tersebut berlokasi di Muara Batang Arau, Loji ini termasuk yang terbesar dikawasan barat Sumatera.
Loji itu berbentuk empat pesegi dengan setiap sisi panjangnya lebih kurang 100 m. Pada setiap sudut terdapat menara pengawas dengan ketinggian 8 m.] sebagai simbol kekuasaan Belanda sebanyak dua kali diserang dan dibakar habis oleh masyarakat pejuang dari Pauh dan Koto Tangah, yang pertama pada malam hari tanggal 7 Agustus 1669[ Berdasarkan SK Walikotamadya Padang No. 188.452.25/SK-ESK/1986 peristiwa dijadikan sebagai hari dan tahun jadinya Kota Padang. ]. Serangan kedua terjadi pada tahun 1870. Kedua serangan itu terjadi adalah akibat sikap monopoli dagang Belanda yang menganggu kebebasan dagang mereka dan sikap pongah kaki tangan Belanda yaitu bangsa mereka sendiri.
Pada tanggal 20 Mei 1784, untuk pertama kalinya Belanda menetapkan Kota Padang sebagai pusat kedudukannya dan pusat perdagangan di Sumatera Barat. tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun, setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra's Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang.
Sampai akhir abad ke-18 Kota Padang hanya sekitar Batang Arau, Kampung Cina, Kampung Keling, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pulau Aia, Ranah Binuang, Alang Lawas dan Seberang Padang. Ketika pemerintah Belanda melalui de Stuers (1788-1861) memimpin Padang, kota ini diperluas ke utara, yaitu ke Nanggalo dan Ulak Karang ke selatan sampai ke Teluk Bayur, ke timur sampai ke Lubuk Begalung, Marapalam dan Andalas. Pada masa itu terjadi peralihan dimana wilayah dikepala oleh penghulu kemudian diganti dengan sistem pemerintahan Wijk atau kampung. Penghulu wijk bukan lagi kepala pemerintahan atas kaum atau suku, tetapi atas nama kampung atau wijk. Masing-masing wijk yang tercatat adalah :
Pemekaran selanjutnya daerah kota kemudian diperluas dengan membentuk Wijk IX yaitu Lubuk Begalung, Sungai Barameh, Parak Laweh dan Gurun Laweh. Kesemua Panghulu Wijk tersebut bergabung dalam satu dewan yang bernama Dewan Penghulu Wijk yang diketuai oleh seorang Regent yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Regent didampingi oleh seorang wakil[ Dalam beberapa literatur tercatat wakil Regent ini memiliki jabatan yang bernama Bandaro, Kadhi dan Imam.]. Pada tahun 1905 berdasarkan Ordonansi Gubernur Jenderal Hindia Belanda April 1905 batas-batas Kota Padang ditetapkan. Kemudian berdasarkan Lembaran Negara No. 321 Tahun 1913, daerah di Kota Padang dibagi atas beberapa distrik, yaitu :
Ketujuh distrik itu disebut juga Luhak yang dikepala oleh seorang Asisten Residen, tapi dalam keseharian dikenal juga dengan nama Tuanku Luak. Disamping ketujuh distrik tersebut, Kota Padang juga dibedakan atas dua bagian yaitu; Padang Kota, didalamnya terdapat Distrik Tanah Tinggi, Batang Arau, dan Binuang; dan, Padang Luar Kota yaitu Distrik Koto Tengah, Pauh IX, Sungkai dan Pauh V.
Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia. Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya. Setelah Jepang dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan pekerjaan umum.
Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus. Namun pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui pelabuhan Teluk Bayur, dan kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan. Pada 9 Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan Republik Indonesia setelah sebelumnya menjadi negara bagian RIS melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225 tahun 1948, Gubernur Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan perluasan wilayah Kota Padang. Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto menetapkan Padang menjadi ibu kota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure pada tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian, setelah menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah Kota Padang sebagai pemerintah daerah.
Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat tanggal 17 Mei 1946 No 103 Padang ditetapkan menjadi kota besar. Walikota Padang pertama adalah, Mr.Abubakar Ja’ar (1945-1946), menjabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda.
Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Padang Panjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr.A.Hakim (1947—1949) dan memerintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh Dr. Rasyiddin sebagai walikota yang ke lima (1949-1956).
Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom. Walikota keenam (1956-1958), Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota Padang adalah Drs. Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971-1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun 1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan.
Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota Padang kesebelas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983-1993). Berakhirnya kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota Padang diserahkan kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993-2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua belas. Tahun 2004-2014, dua kali periode, Walikota Padangnya adalah Drs. Fauzi Bahar, Msi. Tahun 2014-2019 dengan walikotanya Mahyeldi Ansharullah, SP.